Selasa, 26 Maret 2013

OEDEM ANASARKA E.C SINDROM NEFROTIK - FK UMI (Florentina siahaan)


BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuri massif, hiperjolesterolemiam, dan lipiduri. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuri massif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum renda, eksresi protein dalam urin juga berkurang, proteinuria juga berkonstribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, ganggua keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolism kalsium dan tulang serta hormone tiroid serung dijumpai pada SN. Umumnya SN fungsi ginjal normal kecuali sebagaian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (1)
Sindrom nefrotik atau nefrosis bukan satu penyakit, tetapi sekelompok gejala, termasuk albuminuria, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, dam lipura. Sindrom nefrotik dikaitkan dengan reaksi alergi (herpes zoster), penyakit sistemik (diabetes mellitus), masalah sirukulasi (gagal jantung kongestif berat), kanker (penyakit Hodgkin, paru, kolon dan mamma), transplantasi ginjal, dan kehamilan. Sekitar 50-75% individu dewasa dengan sindrom nefrotik akan mengalami kegagalan ginjal dalam lima tahun. Etiologi sinrom nefrotik pada anak anak adalah idiopatik. Sindrom nefrotik paling sering ditemukan pada anak anak. Sekita 70-80% lasis nefrosis terdiagnosis sebelum mereka mencapai usia 16 tahun. Insiden tertinggi adalah pada usia 6-8 tahun (2)
Penyakit ini terjadi tiba – tiba terutama pada anak-anak, biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat. Pada dewasa yang jelas terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia (3)
Kebanyakan (90%)  anak yang menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik idiopatik ; penyakit lesi-minimal ditemukan sekitar 85%, poliferasi mesangium pada 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis, sindrom nefrotik sebagian besar diperatarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis, dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif. (4)
Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai antigen antibody. Sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi ; sindroma nefrotik bawaan (karena maternalfoetal rection), Sindroma Nefrotik sekunder, sindroma nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya (5)













BAB II
(TINJAUAN PUSTAKA)
A.      Definisi
Sindrom Nefrotik adalah Hasil Patologis dari berbagai factor yang mengubah permeabilitas glomerulus (7). Menurut A. Aziz (2008) sindrom nefrotik merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. (8).
B.      Klasifikasi
Sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi :
1.       Sindrom Nefrotik congenital
Adalah kondisi autosomal resesif dan berkaitan dengan plasenta yang membesar, prematuritas, dan peningkatan kada a-fetoprotein. Lesi yang patognomonik adalah dilatasi kistik pada tubulus proksimal. Tidak ada terapi selain nefrektomi dan transplantasi ginjal pada tubulus proksimal. Tidak ada terapi selain nefrektomi dan transplantasi ginjal yang diketahui efektif. Penyakit ini biasanya fatal dalam usia 2 tahun pertama kehidupan.
2.       Sindrom Nefrotik Sekunder
Dapat terjadi pada vaskulitis seperti purpura henoch Schonlein, atau lupus eritematosus sistemik, pada limfoma maligna seperti penyakit Hodgkin, atau malaria kuartana, infeksi virus hepaptitis B, atau infeksi HIV. Kadang-kadang glomerulonefritis postsreotokokusm seperti sindrom nefrotik. (6)
                Sindrom Nefrotik adalah hasil patologis dari berbagai factor yang mengubah permeabilitas glomerulus. Sindrom nefrotik ini dapat digolongkan menjadi jenis primer dan sekunder seperti yang disebutkan diatas. Sindrom nefrotik digolongkan berdasarkan temuan-temuan klinis dan hasil pemeriksaan mikroskopik jaringan ginjal. Berdasarkan klasifikasi klinis, jenis sindrom ini dibedakan berdasarkan jalannya penyakit, pengobatan dan prognnosisnya. Gejala dapat menjadi kronis. Sejumlah anak mengalami kekambuhan dan berkurang secara bertahap dengan bertambahnya usia.
Tabel. B. 2. Jenis Sindrom Nefrotik (7)
Primer
-          Penyakit congenital
-          Sindrom nefrotik jenis Finnish (diwaraiskan)
-          Sindrom nefrotik perubahan minimal (jenis yang paling sering terjadi)
Sekunder
-          Setelah penyakit infeksi
-          Toksisitas obat (aminoglikosida, amfoterisin B)
-          Toksisitas radiokontras celup
-          Glomerulonefritis
-          Infeksi bakteri sistemik
-          Hepatitis B
-          Infeksi HIV
-          Endokarditis bacterial subakut
-          Penyakit vascular
-          Sindrom hemolitik-uremik
-          Thrombosis vena renalis
-          Lupus eritematosus sistemik
-          Purpura Henoch-Schonlein
-          Sindrom Goodpasture
-          Penyakit Familial
-          Sindrom Alport
-          Diabetes Melitus
-          Terpajan obat atau logam berat
-          Nefrosis Alergika

C.      Etiologi
Lebih dari 90% sindrom nerotik pada anak merupakan akibat dari penyakit ginjal primer yang tidak diketahui penyebabnya. Sindrom nefrotik sekunder akibat penyakit sistemik lebih jarang ditemukan dibandingkan pada orang dewasa, penyebab terjarang adalah sindrom Henoch – Schonlein. Di afrika, malaria kuartana merupakan penyebab terpenting (9)
D.      Patofisiologi
Sindrom nefrotik atau nefrosis bukan satu penyakit, tetapi sekelompok gejala, termasuk albuminuria, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, dam lipura. Sindrom nefrotik dikaitkan dengan reaksi alergi (herpes zoster), penyakit sistemik (diabetes mellitus), masalah sirukulasi (gagal jantung kongestif berat), kanker (penyakit Hodgkin, paru, kolon dan mamma), transplantasi ginjal, dan kehamilan. Sekitar 50-75% individu dewasa dengan sindrom nefrotik akan mengalami kegagalan ginjal dalam lima tahun. Etiologi sinrom nefrotik pada anak anak adalah idiopatik. Sindrom nefrotik paling sering ditemukan pada anak anak. Sekita 70-80% lasis nefrosis terdiagnosis sebelum mereka mencapai usia 16 tahun. Insiden tertinggi adalah pada usia 6-8 tahun.
Perubahan fisiologis awal sindrom nefrotik adalah perubahan sel pada membrane dasar glomerular. Hal ini mengakibatkan membrane tersebut menjadi hiperpermeabel (karena berori pori) sehingga banyak protein yang terbuang dalam urine (proteinuria). Banyaknya protein yang terbuang dalam urine mengakibatkan albumin serum menurun (hipoalbuminemia). Kurangnya albumin serum mengakibatkan berkurangnya tekanan osmotic serum. Tekanan hidrostatik kapiler dalam jaringan seluruh tubuh menjadi lebih tinggi daripada tekanan osmotic kapiler. Oleh karena itu, terjadi edema diseluruh tubuh. Semakin banyak cairan yang terkumpul dalam jaringan(edema), semakin berkurang volume plasma yang menstimulasi sekresi aldosteron untuk menahan natrium dan air. Air yang ditahan ini juga akan keluar dari kapiler dan memperberat edema.
Manifestasi klinis sindrom nefrotik adalah edema berat diseluruh tubuh (anasarka), proteinuria berat, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Pasien juga mengalami anoreksia, dan merasa cepat lelah. Pasien wanita dapat mengalami amenorea.
Patofisiologi dan manifestasi klinis sindrom nefrotik
Fungsi Normal
Patofisiologi
Manifestasi Klinis
Kapiler glomerular tidak permeable terhadap protein serum. Plasma protein membentuk tekanan osmotic koloid untuk menahan cairan intraselular.
Kapiler glomerular menjadi permeable (berpori-pori) terhadap protein serum dan mengakibatkan proteinuria dan tekanan osmotic serum menurun. Filtrasi glomerular juga menurun.
Edema anasarka, proteinuria berat, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia

kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait. Setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan negative glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2g/24 jam dan terutama terdiri dari albumin ; hipopreteinemianya pada dasarnya adalah “hipoalbuminemia”. Umunya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2.5 d/dL (25 g/L).
mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya. Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia, akibat kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal, mengaktifkan system rennin-angiotensin –aldosteron, yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal. Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormone antidiuretik, yang mempertinggi reabsorbsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma berkurang, natrium dan air yang teral direabsorbsi masuk ke ruang interstisial, memperberat edema. Adanya factor factor lain yang juga memainkan peran pada pembentukan edema dapat ditunjukkan melalui observasi bahwa beberapa penderita sindrom nefrotik mempunyai volume intravaskuler yang normal atau meningkat, dan kadar rennin serta aldosteron plasma normal atau menurun.
Penjelasan secara hipotesis meliputo defek intrarenal dalam eksresi natrium dan air atau adanya agen dalam sirkulasi yang menaikkan pereabilitas dinding kapiler di seluruh tubuh. Serta dalam ginjal.
Pada status nefrosis, hamper semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Sekurangkurangnya ada dua factor yang memberikan sebagian penjelasan :
1)      Hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein, dan
2)      Katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma. Apakah lipoprotein lipase keluar melalui urin belum jelas.
Sindrom nefrotik idopatik terjadi pada 3 pola morfologi. Pada lesi-minimal (85%), glomerulus tampak normal atau menunjukkan penambahan minimal pada sel mesangium dan matriks. Mikroskopi electron menampakkan retraksi tonjolan kaki sel epitel. Lebih dari 90% anak dengan penyakit lesi-minimal berespons terhadap terapi kortikosteroid.
Kelompok proliferative mesangium (5%) ditandai dengan peningkatan difus sel mesangium dan matriks. Dengan imunofluoresensi, frekuensi endapan mesangium yang mengandung IgM dan C3 tidak berbeda dengan frekuensi yang diamati pada penyakit lesi-minimal. Sekita 50-60% penderita lesi histologist ini akan berespons terhadap terapi kortikosteroid.
Pada biopsi penderita yang menderita lesi sklerosis setempat (10%), sebagian besar glomerulus tampak normal atau menunjukkan proliferasi mesangium. Yang lain, terutama glomerulus yang dekat dengan medulla (jukstamedulare), menunjukkan jaringan parut segmental pada satu atau lebih lobus. Penyakitnya sering progresif, akhirnya melibatkansemua glomerulus, dan menyebabkan gagal ginjal stadium akhir pada kebanyakan penderita. Sekitar 20% penderita demikian berespons terhadap prednisone atau terapi sitotoksik ataupun keduanya. Penyakit ini dapat berulang pada ginjal yang ditransplantasikan (10)
E.       Manifestasi Klinis
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma menimbulkan :
1.       Proteinuria
2.       Hipoalbuminemia
3.       Hiperlipidemia
Edema Hilangnya protein dari ronga vascular menyebabkan penurunan tekanan osmotic plasma dan peningkatan tekanan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya akumulasi cariran dalam rongga interstisial dan rongga abdomen. Penurunan volume cairan vascular menstimulasi system rennin-angiotensin dan mengakibatkan disekresinya hormone antidiuretik dan aldosteron. Reabsorpsi tubular terhadap natrium (Na+) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume intravascular. Retensi cairan ini mengrah pada peningkatan edema. Koagulasi dan thrombosis vena dapat terjadi terkena penurunan kehilangan urin dari koagulasi protein. Kehilangan imunologlobulin pada urine dapat mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi.
Walaupun gejala pada anak akan bervariasi seiring dengan perbedaan proses penyakit, gejala yang paling sering berkaitan dengan sindrom nefrotik adalah :
1.       Penurunan pengeluaran urine dengan urine berwarna gelap, berbusa
2.       Retensi cairan dengan edema berat (edema faisal, abdomen, area genetalia, dan ekstremitas)
3.       Distensi abdomen karena edema dan edema usus yang mengakibatkan kesulitan bernapas, nyeri abdomen, anoreksia, dan diare
4.       Pucat
5.       Keletihan dan intoleran aktivitas
6.       Nilai uji laboratorium abdnormal (7)
F.       Diagnose
1.       Anamnesis : bengkak seluruh tubuh dan buang air kecil warna keruh
2.       Pemeriksaan fisik : edema anasarka dan asites
3.       Laboratorium : proteinuri massif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas
4.       Pemeriksaan penunjang : urinalisis, ureum, creatinin, tes fungsi hati, profil lipid, elektrolit, gula darah, hemostasis, pemeriksaan imunologi, biopsy ginjal, proteuniurin kuantitaif (11)
G.     Diagnose banding
1.       Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke
2.       Glomerulonefritis akut
3.       Lupus sitemik eritematosus
H.     Pemeriksaan Penunjang
Urin terlihat berkabut dan terdapat albuminuria berat. Proteinuria yang sangat selektif, yaitu urin yang mengandung sejumlah besar protein dengan berat molekul rendah, merupakan gambaran prognostic yang baik yang menunjukkan histology perubahan minimal. Silinderhialin sangat banyak. Albumin serum dibawah 25 g/L dan kolesterol serum biasanya meningkat. Keratin serum biasanya normal (9)
I.        Penatalaksanaan
Tidak ada tindakan yang spesifik, infeksi harus dicegah karena daya tahan tubuh pasien menurun. Banyak protein yang terbuang dalam urin dan terjadi edema berat yang dapat mengancam integritas kulit. Obat imunosupresan yang diberikan kepada pasien juga dapat membuat daya tahan tubuh menurun. Torasentesis atau parasentesis dapat dilakukan apabila banyak cairan yang terkumpul dalam celah pleura atau rongga abdomen. Prosedur ini hanya dapat mengurangi rasa sesak dan dispnea yang berat.
Diet pada klien ini diberikan 1 g/kg protein setiap hari. Orang dewasa memerlukan 35-45 kalori/kg setia hari. Asupan natrium dibatasi pada 0,5-1 per hari untuk mengendalikan edema. Makanan tinggi kalium diberikan untuk pasien yang menerima diureitk
Aktivitas juga dapat dilakukan dengan tirah baring selama edema berat dan tanda infeksi. Imobilitas yang lama tidak dianjurkan (2)
Menurut A. Aziz dalam bukunya menuliskan penatalaksanaan pada klien dengan sindrom nefrotik adalah sebagai berikut :
1.       Pemantauan cairan dengan mengkaji ketidakseimbangan elektrolit, seperti hipokalsemia, hiponatremia, dan hipernatremia
2.       Pemberian nutrisi yang adekuat, yaitu tinggi kalori, tinggi protein dan menurunkan jumlah natirum (mengurangi makanan yang mengandung tinggi natrium)
3.       Pemberian perawatan kulit atau mengubah posisi dengan sering, serta menggunakan bantal penopang untuk menghindari kerusakan pada daerah penonjolan
4.       Penatalaksanaan medis dalam pemberian kortikosteroid, diuretic dan retriksi natirium (8)
J.        Insiden
1.       Insiden sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki dari pada perempuan
2.       Angka mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan penyebab, keparahan, tingkat kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan respons terhadap pengobatan
3.       Sindrom nefrotik terutama menyerang anak usia prasekolah. Sindrom ini terjadi paling sering pada anak berusia antara 1 dan 8 tahun
4.       Sindrom nefrotik perubahan minimal terjadi sekitar 80% dari semua kasus sindrom nefrotik pada anak. (7)
K.      Prognosis
Prognosis penyakit ini buruk pada anak yang tidak berespons terhadap pengobatannya (7)
L.       Komplikasi
1.       Penurnan volume intravascular (syok hipovolemik)
2.       Kemampuan koagulasi yang berlebihan (thrombosis vena)
3.       Gangguan pernapasan (yang berhubungan dengan retensi cairan dan distensi abdomen)
4.       Kerusakan kulit (dari edema berat, penyembuhan buruk)
5.       Infeksi (khusunya selulitis, peritonitis, pneumonia, dan septicemia)
6.       Efek samping terapi steroid yang tidak diinginkan
7.       Gagal tumbuh dan keletihan otot (jangka panjang) (7)
                                                                                                                               
BAB III
PENUTUP
Sindrom Nefrotik adalah Hasil Patologis dari berbagai factor yang mengubah permeabilitas glomerulus. sindrom nefrotik merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.
Karena banyaknya komplikasi yang ditimbulkan dari keadaan ini, misalnya Penurnan volume intravascular (syok hipovolemik), Kemampuan koagulasi yang berlebihan (thrombosis vena), Gangguan pernapasan (yang berhubungan dengan retensi cairan dan distensi abdomen), Kerusakan kulit (dari edema berat, penyembuhan buruk), Infeksi (khusunya selulitis, peritonitis, pneumonia, dan septicemia), Efek samping terapi steroid yang tidak diinginkan, dan Gagal tumbuh dan keletihan otot (jangka panjang), maka penatalaksaan meliputi pemberian obat imunosupresif, penatalaksanaan edema, diuretic ringan, seperti tiazid dan furosemid dosis rendah, pemberian albumin intravena, antibiotic profilaksis, obat anti koagulasi (asetosal), nutris tinggi kalori dan rendah garam.






Daftar Pustaka
(1). Prodjosudjadi W. 2006. Sindrom Nefrotik dalam. Jilid III. Ed IV. Jakarta : Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
(2). Baradero Mary dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : Penerbit buku
kedokteran EGC
(3). Mansjoer A dkk. 2001. Sindrom Nefrotic dalam Kapita Selekta Kedokteran Ed III Jilid 1. Jakarta :
penerbit Media Aesculapius FKUI
(4).Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
(5).Suryanah. 1996. Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
(6).William M. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
(7).Lynn Cecily dkk. 2009. Keperawatan Pediatri Ed. 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
(8). Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebinan. Jakarta :
Penerbit Salemba Medika
(9).  Meadow Roy dan Simon Newell. 2003. Lecuture Pediatrika. Ed.7.  Jakarta : Penerbit Erlangga
(10). Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed. 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
(11). Hartoko b. 1979. Patologi Anatomi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

habis baca, di comment ya mbake bapake :)